CINDERELLA’S PAN By : Eny Trihariyanti

CINDERELLA’S PAN

Masa putih abu-abu akan segera berakhir 1 minggu ini. Semua penghuni sekolah disibukkan dengan aktivitas acara perpisahan sekolah. Dari sudut kejauhan duduk seorang diri di pinggiran lapangan basket yang jauh dari keramaian para siswa. 2 jam sudah berlalu duduk merenung ditempat yang sepi ini.

Oh !! Aku tidak sendiri ! Buku harian usang dan pena yang tintanya hampir sekarat menjadi teman sekaligus bidang kemarahanku. Kedua bola mataku tak henti melihat kebahagiaan mereka membahas tentang gaun yang akan di kenakan saat perpisahan tiba. Mondar-mandir layaknya setrika berjalan yang bikin greget. Sambil menatap langit dan berpangku tangan membuka menutup diary dengan kasarnya tiba-tiba ada yang menarik perhatianku.

Aku melihat sesosok bayangan hitam besar seolah-olah akan menerkamku dari arah belakang. Awalnya aku takut tapi, matahari di siang itu begitu teriknya bayangan itu nampak jelas seperti tokoh wayang "SEMAR" bisa bayangin kan?. Sontak menggengam kedua tanganku seperti pose meminta, Aku harap itu JIN BOTOL yang bisa mengabulkan 3 permintaan atau kalo kagak DORAEMON yang punya kantong ajaib ! Tapi tenyata....

“Woy, ELa!” teriaknya mengagetkan dengan menepuk bahuku berulan kali.

Ternyata Ana, dia teman sebangkuku. Dengan ekspresi datar karena tidak kaget sedikitpun aku hanya menurunkan kedua tangan yang mengadah tadi. Ditariknya tanganku tanpa sepatah kata, hanya teriakan namaku yang terdengar. Ana menarikku dan berlari menuju pepohonan rindang yang tak jauh dari kantin sekolah. Aku masih menatapnya tidak percaya.

“ Bagaimana? Sudah dapat gaunnya belom El?”

“Mungkin aku tak akan datang Na, masalah gaunnya? Ah sudahlah! Kamu tau jelas bagaimana keadaanku. Kamu sendiri?”, tanyaku.

“Sabar El, pasti ada jalan keluarnya kok. Nanti sore aku akan memilih baju yang muat dengan posturku. Terserah deh mau warna apa aja.”

“good luck deh, pasti ada yang pas kok. Eh sudah bel pulang tuh! Aku duluan ya?”, memotong pembicaraan Ana secara tiba-tiba.

“ok, semangat El!”

Akupun bergegas meninggalkan tempat itu menuju parkiran. Seperti tidak ada helaan nafas bahkan rasanya gerakan mengambil nafas terasa sangat berat. Moment yang dinantikan siswa-siswi namun, tidak bagiku!. Aku sudah tak peduli dengan apa yang akan kukenakan nanti. Sesampainya dirumah,

“Assalamualaikum, Ela pulang bu.” Mendekati ibu yang sibuk memasak di dapur. Mencium tangannya,lalu berbalik menuju kamar.

“makan dulu nak, ibu sudah masak nasi jagung dan sambal goreng tempe kesukaanmu” sembari menyusul ke kamar.

Ibu mulai cemas, menatapku dari bilik pintu yang setengah terbuka. Tak ada jawaban dariku.

“Maafkan Ibu dan Bapak nak,sudah membuatmu kecewa.”

“Aku tak akan hadir di acara itu. ini bukan salah Ibu dan Bapak.” ujarku lirih.

“Ibu dan Bapak ingin melihatmu seperti mereka nak” sambungnya dan berlari menuju dapur mengambil panci lalu pergi entah kemana dengan motor tua. Ibu perlahan meningalkan rumah.

Aku mengikuti tanpa sepengetahuannya. Selang beberapa menit mereka tiba di sebuah toko baju. Sedang apa mereka? Membawa panci masak? Pikirku keheranan. Akupun tercengang dibuatnya. Kuintip dari celah daun pisang yang menjuntai. Perlahan mendekat mengikuti suara berbisik namun terdengar jelas.

“Mbok! Mbok! kemarin mbok butuh panci ini buat lebaran kan? Jadi tawar berapa?”

“Iya, Kenapa dijual bu? Itu kan kenangan semasa kerja menjadi TKI di Arab?”

“Ada keperluan mendadak Mbok”

“Mbok berani Rp.500.000 aja ya, dagangan baju masih sepi. Bagaimana?”

“Nggak usah uang Mbok, cukup baju yang dipojok sana dan sepatu size 37 warna putih itu,” sambung ibu.

“untuk anakmu? ” saut Mbok Romlah memastikan.

Ibuku hanya diam mengangguk mengiyakan. Air mataku tumpah tak henti menetes kala melihat Ibu menjual panci masaknya kepada Mbok Romlah untuk mendapatkan sehelai gaun warna putih panjang beronda dilengkapi bunga yang bermekaran  dan sepasang sepatu hak tinggi. Langkahku semakin berat sembari mengelus dada yang kian sesak rasanya. Aku pun berlari kearahnya. Senyuman kecil yang terhias diwajahnya telah menyambut ragaku. Bibirku membisu, tatapanku terpaku padanya.

“I..i..Bu,!” terbata-bata kataku terucap.

“Ibu menjadikanmu CINDERELLA tanpa harus menjadikanmu UPIK ABU lebih dulu” meraih tanganku dan mendekapku.

“Terimakasih, sudah menjadi orang tua yang paling sempurna. Tapi kita masak pake apa? Pancinya sudah tiada?”

“Tiada panci, wajanpun jadi!” candanya.

“Nanti kalau Ela sudah kerja, Ela belikan panci yang banyak Bu!”
“Asal akan panci dari emas hahaha”

Kupeluk erat Ibuku, menangis sekaligus bahagia. Tak kusadari ingusku menempel di bajunya. Kami tertawa terbahak-bahak seiring perjalan ke rumah membicarakan keajaiban panci. Sesampainya dirumah, Aku mencoba gaun itu beserta sepatunya. Berjalan kesana-kemari. Tik tok tik tok bunyinya. Seharian bermuram durja, kini senyumku merekah.

Raja pagi, sang surya telah menampakkan cerah sinarnya. Secerah raut wajahku. Tatanan rambut panjang terurai dengan sedikit sentuhan make up natural. Aku berdiri dihadapan peri-peri yang telah mengubahku menjadi puteri, ya itu ibu dan bapak.

“Sudah jam 7 pagi, cepat berangkat nak.”

“Naik apa?” tanyaku.

“Tenang puteri cantik, kereta kencana
punya Bapak akan mengantarkanmu.” sambil menunjuk sepeda motor era 70-an di depan teras.

“hahaha… siap boss!”

Kami bertiga menggunakan motor itu menuju sekolah. Semangat yang menggebu-gebu kalahkan terik matahari. 1 jam kemudian kami sampai. Mulai memasuki gelaran karpet merah. Kedua orang tuaku berkumpul dengan para wali murid lainnya menunggu nama anak-anaknya di panggil ke atas panggung.

Ananda Ela Safitri. Namaku dipanggil. Akupun berjalan melewati anak tangga. Semua mata tertuju padaku saat menerima penghargaan murid teladan. Nampak dari kejauhan, Ibu dan Bapak tersenyum melambaikan tangan penuh haru.

“Apa aku bilang El? Semua Masalah pasti ada jalan keluar,” tegur Ana menyapa diatas panggung.

“ini semua berkat orang tuaku, aku bahagia sekali Na !”

Terlahir dari keluarga sederhana itu tak masalah bagiku, asalkan kaya kebahagiaan bersama orang yang kita sayangi dan selalu ada orang yang menyemangati. Kemiskinan bukan kendala untuk bahagia. Bagiku mereka adalah Malaikat yang terlihat.

By: Eny Trihariyanti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Andai BENCONG jadi pramugari...😅

MR.UPIL By : Eny Trihariyanti

CINTA KINGKONG by Ahmad Novrizal