The Light at Formosa's Sky (Cahaya di Langit Formosa) By : Eny Trihariyanti

The Light at Formosa’s Sky
(Cahaya di Langit Formosa)





Mataku mata ikan, tak dapat terlelap malam ini. Sesekali mencoba memejamkan kedua bola mata namun pikiranku melayang. Terpaku memandang wajah malaikat-malaikat yang terlelap pulas di atas tikar tua. Maksud hati ingin memberikan selembar kertas hasil seleksi SNMPTN yang sudah berada dalam genggaman. “Bismillah, ini waktu yang tepat Aya!” gumamku dalam hati seraya menepuk dada dan menghela nafas panjang.
Aku mendekati malaikat itu. Segaris senyuman seperti mekarnya bunga desember yang merah merekah menghiasi raut wajahku. Belum sampai tangan menyentuh raganya. Tiba-tiba Ibu berbisik lirih dengan mata setengah terjaga. Segera kulipat kertas tadi memasukkannya kedalam saku celana.
“Aya, masih belum tidur?” tanya Ibuku sembari bergegas menuju dapur mengambil baskom berisi air hangat dan handuk.
“susah tidur Bu, siapa yang sakit? Citra?”
Ibu hanya menggelengkan kepala. Aku berpikir bahwa yang sakit adalah Citra adikku yang berumur 3 tahun Atau Aji kakakku. Kecemasanku mengikuti langkah Ibu dari dapur menuju kamar. Ia meletakkan kompresan itu diatas leher Bapak.
Apa yang terlihat adalah sebuah jawaban pertanyaanku. Ibu memberi tahu hasil lab dari puskesmas. Bapak terkena infeksi tenggorokan. Benjolan di lehernya semakin membesar. Menyulitkannya untuk menelan makan atau minum. Tubuhnya semakin kurus dan sudah tak mampu  bekerja. Dokter menganjurkan segera dioperasi tapi, kendala biaya dan keadaan keluargaku yang jadi masalah.
“jangan cemas Ay, kita berdoa semoga ada jalan keluar. Bagaimana hasil beasiswanya?” ibu mengalihkan pembicaraan.
“Maaf Bu, Cayaha gagal” jawabku singkat.
Suasana menjadi hening. Air mataku tumpah tak dapat dibendung. Ibu mendekapku erat. Belaian tangan, tutur kata, dan pelukannya terasa hangat. Tak terasa ingusku menempel dibajunya. Sebenarnya, aku mendapatkan beasiswa masuk perguruan tinggi. Aku terpaksa berbohong karena tidak ingin menyulitkan keadaan keluargaku.

Yang kami butuhkan saat ini adalah uang. Aku harus mencari biaya operasi bapak. Kebutuhan sehari-hari, menyicil hutang, dan biaya adikku yang masih TK. Mereka berharap banyak terhadapku. Apa yang harus aku lakukan?.
 Raja pagi telah menampakkan sinarnya. Aku mengasingkan diri di bawah pohon rindang. Buku harian usang dan pena yang tintanya hampir sekarat menjadi teman sekaligus bidang kemarahanku. Sambil menatap langit dan berpangku tangan membuka menutup diary dengan kasarnya. Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Aku melihat sesosok bayangan hitam besar seolah-olah akan menerkamku dari arah belakang.
Awalnya aku takut tapi, matahari di siang itu begitu teriknya bayangan itu nampak jelas seperti tokoh wayang Semar. Sontak menggengam kedua tanganku seperti pose meminta. Aku harap itu Jin Botol yang bisa mengabulkan 3 permintaan atau Doraemon yang punya kantong ajaib. “Jreng...jreng...jreng iwak peyek nasi jagung yuhuu”
 Ternyata kakakku Aji datang dengan petikan sinar gitarnya. Dengan ekspresi datar, aku hanya menurunkan kedua tangan yang mengadah tadi. Ditariknya tanganku tanpa sepatah kata, hanya teriakan namaku yang terdengar.
“Ay!”
“Oalah Mas, ngamen lagi?”
“Kamu malu? Yang penting kan halal!”
“Maksudku bukan begitu, Mas bisa mendapat kerja yang lebih baik menggunakan ijazah SMA kan?” jelasku.
“Dipikir nyari kerja itu gampang apa? Kamu sendiri juga belom kerja kok! kerja apapun yang penting halal dan menghasilkan duit!”
Aku diam mengiyakannya. Mas Aji mengeluarkan uang recehan hasil mengamen. Aku memberitahu keadaan Bapak yang sakit. Saat ini, kami berpikir keras mencari jalan.
“Kerja di Taiwan asyik juga ay! Temen mas Aji banyak yang sukses kerja disana lho” cetus mas Aji.
“Gundulmu mas! Ngomong itu mbok ya dipikir dulu! Kenyataan tak seindah drama taiwan METEOR GARDEN !”jelasku.
“Cari  biaya operasi Ay!”
Aku sempat berpikir keras tentang saran kakaku. Mungkin ini jalan untuk mencari biaya operasi Bapak, masa depan keluarga dan masa depanku kelak. Berhari-hari kuberanikan diri menghasilkan tekad bulat. Awalnya orang tuaku tidak mengizinkan bekerja ke luar negeri. Tapi akhirnya mereka mengizinkan meskipun dengan berat hati.
Keesokannya, aku pergi ke koperasi simpan pinjam yang berada di desa. Aku meminjam uang untuk operasi Bapak dengan ketetapan bunga yang dibayar tiap bulannya. Bapak sudah berada di rumah sakit menjalani operasi. Kuintip dari pintu ruangan yang setengah terbuka. Ibuku memangku adikku dengan wajah bermuram durja.
Aku bersandar di dinding luar  yang dingin dengan mata berkaca-kaca.
“Aku harus kuat! Sampai kapan? Kamu melihat Bapak mencari kayu bakar di hutan dan melihat Ibu menjadi buruh cuci baju tetangga!” Aku berbicara pada diriku sendiri.
Kubuka daun pintu menghampiri Ibu mengajaknya pulang.
Beliau terlihat letih sekali. Selang waktu berganti, And Aji datang menjemput kami menggunakan sepeda motor tua era 70-an. Selama di perjalanan, Mas Aji memberitahu persyaratan tentang PT yang menjadi tempat pelatihan TKI. Mas Aji mendadak berhenti di sebuah salon. Aku dan ibu dibuat keheranan.
“Eh Mas, mau ngajak kita nyalon? Atau cuma numpang parkir aja!”
Mas Aji memegang pundakku dan berkata,
“Rambutmu ay! Rambutmu!” jawabnya.
“Lah rambutku panjang dan rapi kok mas”
“Kenapa sama rambutnya aya?” Sambung Ibuku.
“Peraturannya rambut harus dipotong model cowok. Kayak rambutku.” jawab Mas Aji memamerkan gaya rambutnya.
Kami bertiga saling bertatap muka sejenak. Rasanya jatuh tertimpa tangga pula. Perasaan sedih saat berada di depan cermin melihat mahkota terakhirku. Alat-alat pemotong rambut telah menebas habis setiap helai rambutku. Air mata dan potongan rambut jatuh bersamaan.
“Wah kamu tampan Ay” berbicara di depan cermin sambil mengusap air mata yang tak henti menetes.
“Cahaya, akan tetap cantik dengan wujud apapun di mata Ibu” diraihnya tanganku yang bergemetar. Kamipun melanjutkan perjalanan pulang.
Sesampainya dirumah, aku mempersiapkan baju dan perlengkapan selama pelatihan. Lusa adalah jadwal keberangkatanku masuk PT. Aku hanya membawa beberapa pasang baju secukupnya. Dari kecil hingga beranjak dewasa hanyalah baju-baju bekas pemberian tetangga tempat ibuku bekerja yang memiliki anak seusiaku.
Aku mulai memasukkan semua perlengkapan kedalam tas. Sebuah tas yang terlihat seperti peninggalan nenek moyang. Jadul, kusam dan terdapat motif robekan-robekan kecil yang kasat mata.
Diwaktu bersamaan, terdengar suara bising dari arah dapur. Ibuku terlihat pergi dengan terburu-buru membawa panci masak. Aku mengikuti tanpa sepengetahuannya.
Selang beberapa menit Ibu tiba di sebuah toko. Sedang apa Ibu disana? Membawa panci masak? Pikirku keheranan. Akupun tercengang dibuatnya. Kuintip dari celah daun pisang yang menjuntai. Perlahan mendekat mengikuti suara berbisik namun terdengar jelas.
“Mbok! Mbok! kemarin Mbok butuh panci ini buat lebaran kan? Jadi tawar berapa?”sambil meletakkan panci diatas meja.
“Iya, katanya gak jadi dijual? Itu kan kenanganmu kerja semasa menjadi TKI di Arab?”saut Mbok Romlah.
“Ada keperluan mendadak Mbok”
Karena dagangan Mbok Romlah sepi hari itu dan tidak bisa memberikan uang sebagai gantinya, Mbok Romlah menukar dengan salah satu dagangan miliknya. Kulihat Ibuku menunjuk salah satu koper yang lebih murah harganya. Penjualan panci bekas dengan harga koper memang selisih banyak. Ibu berjanji akan membayar sisanya bulan depan.
Air mataku tumpah tak henti menetes kala melihat Ibu menjual panci masaknya kepada Mbok Romlah. Langkahku semakin berat sembari mengelus dada yang kian sesak rasanya. Aku pun berlari kearahnya. Senyuman kecil yang terhias diwajahnya telah menyambut ragaku. Bibirku membisu, tatapanku terpaku padanya.
Hari telah berganti, Bapak sudah diperbolehkan pulang. Alhamdulillah aku bahagia.  Kulihat sekitar rumah untuk terakhir kali. Akupun berpamitan kepada Bapak, Ibu, dan Adikku. Aku juga sudah tidak menghubungi teman ataupun kekasihku. Kulepaskan semuanya.
 Aku hanya punya ongkos yang pas-pasan untuk perjalanan banyuwangi-surabaya. Mas Aji mengantarkanku ke PT dengan modal gitar dan suaranya. Karena dengan mengamen, ongkos yang tandinya untuk 2 orang penumpang bisa gratis. Semua supir bus di terminal sudah mengenal kakakku. Mas Aji mencarikan kursi untukku. Akupun duduk disebelah jendela.
“Tunggu sini Ay”
“Mas Aji mau kemana?”
“Biasalah, konser tunggal hehe”
Hatiku terenyuh melihatnya berdiri dihadapan para penumpang menyapa dengan kata pamungkasnya.
“Assalamualaikum Pa'e, bu'e dan mbak'e. Ketemu lagi sama saya, artis yang tak pernah masuk TV. Sebuah lagu “Oplosan” akan menghibur anda semua!” seru Mas Aji.
Aku melihatnya bernyanyi beberapa lagu sambil berdiri. Mas aji sudah terbiasa bermain gitar dengan mengangkat gitar diatas kepalanya. Untuk menghindari penumpang yang naik turun. Lalu, Ia menyodorkan kantong plastik kosong bekas bungkus permen kepada penumpang. Ada yang memasukkan uang koin, uang kertas bahkan tidak sama sekali. Ia tetap mengucapkan terimakasih.


Malam telah larut, kami menghabiskan waktu semalam di perjalanan. Setelah bergonta-ganti bus dan terminal. Akhirnya kami telah sampai di depan gerbang PT. Rasa takut yang muncul membuat langkah kakiku menjadi berat. Pagar besi itu telah terbuka lebar di hadapanku. Nampak ratusan  calon TKI yang sedang mengantri makan siangnya.
 Rupanya, aku benar-benar keluar dari zona amanku dan melihat dunia yang berbeda.

Siang itu juga Mas Aji harus pulang karena tidak diperbolehkan barada di PT.
“Jaga dirimu Ay, kalo ada waktu segera hubungi Ibu, Bapak dan Mas Aji”
“ Pasti Mas, terimakasih sudah mengantar cahaya. Hati-hati dijalan mas”
Langit yang tadinya cerah tiba-tiba mendung menitikkan hujan. Hujan meninggalkan genangan. Hidupku dilanda hujan berkepanjangan. Pagar besi telah tertutup rapat. Kupejamkan mata sejenak, menahan rasa dalam hati. Seorang wanita menyapaku,
“Mbak calon TKI baru ya, silahkan medical di ruang sana. Mari saya antar!”sapanya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan mengikuti tahap medical dan persyaratan lainnya. Setelah semuanya selesai, wanita itu menunjukkan tempat tidur dan loker para TKI. Juga memberitahu jadwal apa saja yang harus di lakukan dari pagi-malam. Dari mulai piket membersihkan ruangan, kamar mandi, pelajaran bahasa mandarin, pelajaran suster, praktek memasak dan masih banyak hal lainnya.
Semua hal adalah pertama kalinya untukku. Aku mendapatkan pengalaman dan pelajaran berharga disini. Diajarkan untuk disiplin, saling berbagi dan kekuatan mental. Kenapa menjadi TKI? Ternyata dari sekian alasan yang aku tampung, masalah umum adalah ekonomi. Sulitnya lapangan pekerjaan di negara sendiri untuk orang yang terbatas pendidikan. Bahkan yang lulusan sarjana saja terkadang masih bingung mencari pekerjaan.
 Semua orang datang dengan alasan berbeda namun, tujuan yang sama yaitu sukses. 4 bulan kemudian, masa pendidikan dan ujian telah usai. Jadwal penerbanganku sudah ditetapkan. Aku menghubungi kedua orang tuaku untuk datang menjengukku. Perasaanku sedikit campur aduk rasanya. Aku menunggu orang tuaku yang akan datang hari ini.
“Ni hau? ada yang namanya cahaya? Ditunggu keluarganya di pendopo sekarang.”
“Hau, xie-xie.” Jawabku dan bergegas lari menuju pendopo.
Dari kejauhan terlihat kedua orang tuaku telah menunggu. Kucium dan kupeluk erat mereka. Kedua orang tuaku diperbolehkan menginap karena besok jadwal penerbanganku ke taiwan.
“Bagaimana disini Ay? kamu nggak apa-apa kan nak?” tanya Ibuku.
“Aya sudah terbiasa, Ibu dan Bapak tidak usah mengkhawatirkan Aya”
“Jika kamu berubah pikiran, ayo kita pulang saja nak” sahud Bapak.
“Langkah Aya sudah sampai sejauh ini, Aya Cuma minta doa saja. Ini demi mengubah nasip keluarga kita.”
Senja sore itu sudah tak nampak. Langit mulai petang berganti malam. Ibu membawa bekal dari rumah semua makanan kesukaanku. Nasi yang di bungkus daun pisang, sambal teri, sambal goreng tempe dan kerupuk. Kami makan bersama dengan lahap. Entah rasa sambal yang terlalu pedas membuat mataku selalu berair. Sebuah tangisan bahagia menikmati detik terakhirku bersama mereka. Hingga waktu istirahat tiba, aku tertidur lelap dalam dekapan orang tuaku.
Ini adalah jam-jam terakhirku meninggalkan mereka. Formosa? Kenapa harus aku? Seorang puteri di negara sendiri telah menjadi upik abu di negara lain. Ada kalanya, kehidupan seseorang yang awalnya terang benderang seketika gelap gulita. Sesak rasanya bila meratapi kenyataan di hadapanku. Mau dikata apa? Inilah hidup! Suka atau tidak suka semua berjalan sesuai garis-NYA. Aku juga sudah menitipkan surat untuk kekasihku kepada Ibuku.
“Assalamualaikum Arga, terimakasih atas 6 tahun terakhir kita bersama. Ada kalanya orang dihadirkan untuk menjadi masalalu dan tidak untuk masa depan. Jika kita ditakdirkan berjodoh, sejauh apapun kita terpisah maka kita pasti akan bersama. Setidaknya aku sempat memiliki pangeran yang mencintai gadis biasa sepertiku. Salam manis cahaya.”
Keesokan harinya, waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Aku bergegas mandi di temani Ibuku. Sambil mendengarkan nasehat-nasehatnya. Setelahnya, aku mengambil koper bersama teman-teman TKI. Selang beberapa menit sebuah mobil merah datang menjemput. Air mata kedua orang tuaku tak kuasa menahan isak tangis. Air matanya membasahi bajuku tepat pundak sebelah kiri saat kami berpelukan. Tanpa daya memasuki mobil yang akan membawaku ke bandara. Kulihat dibalik kaca mobil dari dalam mereka melambaikan tangan untuk perpisahan sementara ini.
“Selamat tinggal Indonesia”
Terbang dengan maskapai penerbangan asing dari bandara surabaya menuju taiwan. Aku melihat bentangan luas samudera di balik awan cerah. 7 jam kemudian aku telah sampai di bumi formosa. Aku duduk di bangku menunggu antrian sampai namaku dipanggil. Aku membuka tas kecil mencari makanan karena perutku mulai lapar. Kulihat isi dompet hanya terdapat uang Rp.2000 saja. Sungguh terlalu!.
Tiba-tiba saja seorang lelaki muda yang tak kukenal membuka kopernya di hadapanku. Anehnya, dia memberiku 6 buah mie instant secara satu-persatu tanpa sepatah kata. Aku tak menerimanya, menjawab dengan gelengkan kepala. Dia meninggalkan 6 buah mie instant, makanan ringan dan minuman dingin disamping tempat dudukku.
“xie-xie, thank you, gomawo, arigatou gozaimasu, terimakasih, maturnuwun!” jawabku bergantian.
Lelaki tinggi berkulit putih dengan beberapa buku ditangannya itu hanya tersenyum lalu pergi.
“makanan ini semua buat kalian mbak” sambil membagikan kepada TKI lainnya.
“makanannya lho nggak kadaluarsa, ya sudah sini” jawabnya girang.
Aku mengingat nasehat ibu “jangan menerima apapun dari orang yang tak dikenal!” apalagi di tempat asing.
Aku memutuskan memakan makananku sendiri. Selang beberapa menit, Agency menjemputku dibandara dan melanjutkan perjalanan ke kantor agency. Sungguh sial, roda koperku rusak. Koper yang biasanya ditarik malah di gendong. Untungya salah satu temanku berbaik hati memberikan tumpangan.
“kopermu wes pincang, nebeng koperku wae lah” kata Bu asih yang kental dengan logat jawanya.
Tanpa pikir panjang kuletakkan Koperku diatas koper milik Bu Asih yang lumayan besar. Kamipun melanjutkan perjalanan mengikuti agency. Karena sudah terlalu malam, besok pagi agency akan mengantarkanku ke tempat majikan. Aku mendapatkan job menjaga seorang nenek yang lumpuh total, ada selang sonde, sedot dahak, membantunya berbaring, tepuk punggung setiap 2 jam sekali dan masih banyak pekerjaan pembantu pada umumya.
Terik surya telah menyapa hangat jiwaku di langit formosa. Kicauan burung pagi hari bersenandung merdu berterbangan riang di angkasa. Aku telah tiba di rumah majikan. Alhamdulillah semua menerima dengan baik. Kulakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Aku banyak mendapatkan kebaikan disini, mereka memperbolehkan sholat, mengaji dan memberiku sebuah HP untuk menghubungi keluargaku.
Keesokan harinya, saat jam makan siang tiba, majikanku ingin merasakan masakan khas indonesia. Sejenak aku berpikir, makanan apa yang cepat dan mudah ?. Kulihat sayuran dikulkas dan mulai memasaknya dengan percaya diri. Kusiapkan semua hidangan yang telah masak di meja makan.
“ni cu seme chai Aya ?” tanya laupan niang.
“ceke sh inni te chai laupan niang” jawabku.
“ceke JANGAN BENING, ceke LALAPAN, nake KERUPUK chong Indonesia” jelasku.
Kami makan bersama semeja sambil bercerita. Meskipun aku tak begitu paham dengan bahasa mandarin karena baru datang tapi untungya ada titi dan keke yaitu sebutan kakak dan adik yang pandai menggunakan bahasa inggris.
Benar “apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai” maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?.

 Sekarang aku berfikir bahwa Taiwan seindah drama “Meteor Garden” pasalnya nenek memiliki 4 orang cucu laki-laki. Serasa aku seperti menjadi tokoh San Chai dalam drama F4. Kedatanganku adalah memburu NT untuk mewujudkan impianku di masa depan.
Terlahir dari keluarga sederhana itu tak masalah bagiku, asalkan kaya kebahagiaan bersama orang yang kita sayangi dan selalu ada orang yang menyemangati. Kemiskinan bukan kendala untuk bahagia. Bagiku keluargaku adalah malaikat yang terlihat. Ada Sebuah Cahaya di Langit Formosa yang menerangi hidup seorang Cahaya.

To be continued...

By : Eny Trihariyanti - Hualien

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Andai BENCONG jadi pramugari...😅

MR.UPIL By : Eny Trihariyanti

CINTA KINGKONG by Ahmad Novrizal